Dan kamu, saudara-saudara, janganlah jemu-jemu berbuat apa yang baik.
2 Tesalonika 3:13

Anda mungkin pernah mendengar istilah “autopilot”, mungkin saja itu Anda dengar dalam seminar-seminar bisnis yang pernah Anda ikuti. Sebagai mana autopilot terjadi dalam dunia bisnis, tanpa kehadiran si bos (owner) pun usahanya masih tetap bisa berjalan dengan semestinya dan tetap profit untuk perusahaannya. Tentu untuk menjadikan sebuah usaha/bisnis bisa terjadi autopilot tidak bisa dibangun dalam waktu yang singkat dan sekenanya. Dibutuhkan kesungguhan dalam me-manage, bersikap profesional, bekerja keras yang dilakukan dengan konsisten dan dengan cara yang benar. Lihat saja perusahaan-perusahaan besar yang sudah autopilot, ketika si bos yang ‘kerja’annya hanya jalan-jalan ke luar negri, tanpa harus bingung bagaimana nasib kelangsungan usahanya yang ditinggalkan. Mengapa? Karena dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelumnya dan sekarang sudah menjadi autopilot. Autopilot sebenarnya juga bisa diterapkan dalam setiap aspek kehidupan kita, bukan soal bisnis atau kerjaan semata. Kita bisa melatih kehidupan rohani kita menjadi autopilot, yang tanpa ada unsur paksaan sudah mampu berjalan dengan baik. Kita tidak perlu lagi harus diingatkan gembala komsel kita untuk membaca Alkitab, jika kita sudah melatih kebiasaan tersebut setiap harinya. Seperti halnya ketika Anda belajar mengendarai motor atau mobil, di fase-fase awal Anda pasti akan sangat hati-hati dan dalam konsentrasi tinggi untuk bisa menstabilkan kendaraan yang Anda jalankan, – bukan berarti sekarang tidak hati-hati dan sering teledor, namun sudah menjadi autopilot dalam mengoperasikan kendaraan Anda bukan? Demikian juga kehidupan, apapun itu bisa terjadi ‘autopilot’ jika kita terus melatihnya. Saat ini apa yang belum ‘autopilot’ dalam kehidupan Anda? Cobalah untuk fokus ke sana dulu, teruslah latih dan pertahankan setiap tindakan-tindakan Anda yang mendukung untuk terjadinya autopilot. Semisal saja Anda saat ini sedang melatih diri bisa bangun pagi untuk berdoa, saat teduh, kemudian jogging sebentar sebelum Anda berangkat kerja. Latihlah terus sampai hal tersebut menjadi autopilot. Jadi, apa yang akan Anda autopilot-kan dalam bulan-bulan ini? Pergumulkan hal itu dengan Tuhan, dan lakukan itu secara konsisten dan dengan value yang benar, terlebih lagi hasilnya harus berdampak kepada Kerajaan-Nya. Teruslah berbuat baik terhadap sesama, dan jadikan hal itu menjadi autopilot, karena memang demikian kita sebagai saksi-Nya hidup di dunia ini.

Values:
Setiap warga Kerajaan sorga seharusnya sudah terbiasa melakukan perbuatan baik, karena hal itu sudah ter-autopilot dalam hidupnya.

*Melakukan perbuatan baik bukan karena akan mendapatkan upah, melainkan karena sebuah gaya hidup.*

Waspadalah terhadap ahli-ahli Taurat yang suka berjalan-jalan memakai jubah panjang dan suka menerima penghormatan di pasar, yang suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan di tempat terhormat dalam perjamuan, yang menelan rumah janda-janda dan yang mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Mereka itu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.
Lukas 20:46-47

Belakangan ini kita mendengar polemik akibat seorang pemuka agama kondang yang dilarang masuk ke Hongkong. Terjadi kemarahan sebagian umat karena dianggap sebagai persekusi terhadap pemuka agamanya. Bahkan peristiwa ini di”goreng” menjadi bahan baku untuk menggalang sentimen politik oleh beberapa kalangan. Tanpa bermaksud mencampuri keyakinan agama lain, kita bisa bertanya seandainya itu terjadi pada rohaniawan Kristen apakah akan terjadi kemarahan yang sama? Apakah umat Kristen juga sedemikian mengkultuskan seorang pemimpin rohaninya? Kalau sikap kita berbeda apakah itu berarti kita tidak menghormati pemimpin rohani? Benarkah kita menaruh hormat lebih tinggi kepada pemimpin rohani dibanding seorang profesional, seorang dokter spesialis misalnya. Seringkali kita terjebak dalam pemikiran yang seolah-olah benar tapi keliru. Untuk menjernihkan saya akan bertanya lagi. Apakah seorang dokter pasti lebih sehat dari orang awam biasa? Pertanyaan yang sama, apakah seorang rohaniawan yang belajar secara khusus theologia dan sejarah gereja lebih rohani daripada jemaat biasa? Kita tentu saja menghormati seorang dokter yang sudah mendedikasikan hidupnya untuk menolong kesehatan orang lain, namun walau ia seorang dokter yang mengerti prinsip kesehatan belum tentu ia lebih sehat dibanding orang awam biasa. Bukankah kita sering jumpai dokter yang merokok walau ia sangat paham merokok mengganggu kesehatan? Atau dokter yang lebih suka makan enak daripada makan sehat. Hal yang sama berlaku bagi rohaniawan (pemimpin rohani), secara pendidikan ia telah memenuhi syarat menduduki jabatan sebagai rohaniawan di gereja. Ia lebih paham mengenai doktrin kekristenan dibanding jemaat biasa. Ia bisa jadi sudah memberkati banyak pernikahan di gereja. Tetapi apakah kehidupan rumah tangganya lebih harmonis dibanding jemaat biasa? *Apakah ia telah melakukan semua yang ia khotbahkan?* Apakah seorang rohaniawan dipastikan lebih rohani dibanding jemaat biasa?
*Kesimpulannya adalah siapapun kita dengan jabatan sebagai rohaniawan sekalipun, semua sama di mata Tuhan.* Bahkan sebagai rohaniawan kalau ia tidak menerima penghormatan yang selayaknya hal itu bukan masalah. Karena justru semakin rohani seseorang seharusnya ia tidak mengharapkan penghormatan manusia. Anda mengerti?

Seorang warga Kerajaan sejati tidak mencari kehormatan dari manusia karena yang terlebih penting adalah dihormati oleh Sang Raja.

Mencari kehormatan adalah bentuk kemunafikan, karena semakin rohani seseorang semakin ia tidak berharap penghormatan.

Berkatalah Yonatan kepada bujang pembawa senjatanya itu: “Mari kita menyeberang ke dekat pasukan pengawal orang-orang yang tidak bersunat ini. Mungkin TUHAN akan bertindak untuk kita, sebab bagi TUHAN tidak sukar untuk menolong, baik dengan banyak orang maupun dengan sedikit orang.” Lalu jawab pembawa senjatanya itu kepadanya: “Lakukanlah niat hatimu itu; sungguh, aku sepakat.

1 Samuel 14:6-7

Seperti biasa, saya berjalan kaki menuju pangkalan becak untuk diantar ke halte dimana saya biasa naik bus saat berangkat ke kantor. Saya pun naik bus yang ngetem di situ. Sebentar saja bus sudah penuh dan mulai berjalan. Ini terjadi dulu waktu saya masih aktif bekerja, sekarang saya sudah pensiun. Baru berjalan sekitar 20 menit, tiba-tiba bus itu menepi dan berhenti. Sopir bus pun turun menemui seorang polisi lalu lintas, rupanya sopir dianggap melanggar peraturan lalu lintas. ”Wah kalau begini bisa terlambat”, saya berkata dengan kesal. Di kantor akan ada meeting dan saya sudah berjanji pada pimpinan untuk tidak terlambat. Semua penumpang juga kelihatan gelisah. Setelah menunggu 20 menit, bus berangkat lagi untuk meneruskan perjalanan. Saya masih kesal, ”Pasti terlambat nih! Gara-gara sopir yang tidak becus”. Dan benar, saya terlambat masuk kantor. Rapat pun sudah dimulai 15 menit yang lalu. Saya masuk ruangan rapat dengan hati yang tidak menentu. Setelah rapat selesai, saya pun diminta menghadap pimpinan. ”Mengapa terlambat?” tanya pimpinan. ”Soalnya bus yang saya tumpangi ditilang polisi. Sopirnya tidak becus”, jawab saya. ”Jadi yang salah sopirnya?”, tanya pimpinan. ”Betul pak” jawab saya agak keras. Pimpinan berkata, ”Kalau mau jujur, apakah kamu sungguh-sungguh merasa harus datang lebih pagi? Kalau kamu berniat datang lebih awal, pasti kamu akan berangkat lebih pagi. Atau, kamu bisa cepat-cepat ganti bus”. Saya hanya tertunduk malu, sungguh pengalaman pahit yang tidak terlupakan dan pelajaran berharga untuk menghargai waktu. Niat hati diperlukan di dalam setiap kehidupan kita. Dalam masalah pertobatan, harus diawali dengan niat hati (Kisah Rasul 8:22-23). Jika tidak, maka ketika kita jatuh dalam dosa bahkan kembali hidup di dalam dosa, kita akan berkata, ”Ya, namanya juga manusia, penuh dengan kelemahan”. Dalam mengubah kebiasaan buruk, dibutuhkan niat hati. Kalau tidak ada niat hati, kita akan menyalahkan situasi dan lingkungan. ”Habis, teman-teman juga melakukan itu, tidak enak kalau tidak ikut”, katanya. Dalam mengembangkan karier atau mengejar kesuksesan pun perlu niat hati. Kalau tidak, ketika gagal kita akan berkata, ”Memang sudah nasib saya”. Orang yang tidak mempunyai niat hati akan mudah melemparkan kesalahan kepada orang lain atau mencari kambing hitam. Milikilah niat hati yang teguh di dalam mengerjakan apa pun yang sekarang ini sedang Anda hadapi, karena jika ada niat hati, segala macam alasan akan tersingkir dengan sendirinya dan jalan keluar pun akan terbuka, Amin.

Niat hati diperlukan di dalam setiap kehidupan kita. Dalam masalah pertobatan, harus diawali dengan niat hati.

Orang yang tidak mempunyai niat hati akan mudah mencari kambing hitam.